Saat
itu cuaca sangat trik, matahari bersinar sangat terang langsung menyorot dua
buah motor yang kami tumpangi, ketika mendapat tugas untuk meliput kampung belekok
, tak ada bayangan sedikitpun di benak kami seperti apa kampung tersebut,
diantara kami tak ada yang tahu tempat pasti keberadaan kampung tersebut ,
kendaraan kami terus melaju sambil sesekali kami berhenti untuk berunding
mencari arah kampung tersebut, bertanya kepada warga kami lakoni hingga
akhirnya kami menemukan tempat yang kami tuju.
Ya,
kampung belekok , sebuah kampung yang hanya terdiri dari 60 kepala keluarga,
kecil namun tidak kumuh, tempat yang sangat asri di kelilingi oleh sawah.
Ketika kami datang, kami disambut dengana suara burung, oeekkk…oeeekkk…oeekkk kami
kaget, suara burung apa itu ? kami melihat ke atas, burung tersebut terus
mengeluarkan suaranya memanjakan kami pendatang baru, oeekkk..oeekkk…oeekk….
terus seperti itu sambil bercengkrama berlarian ke sana kemari, burung berwarna
putih, dengan bulu di leher berwarna coklat, sangat unik dan indah memikat mata
kami untuk terus berada di bawah pohon bambu tempat mereka tinggal, alhasil
salah satu dari kami terkena kotoran burung tersebut, “aiiihhh sial ucapnya.”
Salah
satu dari kami mengangguk-anggukan kepala sembari terus memandang ke atas
melihat burung tersebut, “mmmm… mungkin ini yang namanya burung belekok.”
Ungkapnya penasaran. Kami penasaran apa hubungan antara burung tersebut dan
kampung belekok ? mengapa burung-burung tersebut ada di kampung belekok ?
pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menambah rasa penasaran kami.
Hingga
akhirnya kami bertemu dengan ibu Imas, anak dari bapak H. Suryana sesepuh
kampung tersebut , karena bapak udah
sepuh dan pendengarannya udah
terganggu, jadi ibu wae ya neng yang wawancara.” Ungkap ibu Imas nada bergurau. Ya,
kami disambut dengan sangat ramah oleh nya.
Imas
menjelaskan sejarah kampung tersebut, “ sebenarnya sih kampung ini namanya kampung Ranca Bayawak, karena ada
burung-burung belekok itu ( jari Imas menunjuk ke arah burung belekok) jadi nya
weh dinamain kampung belekok, tapi tetap aja ini namanya kampung Ranca
Bayawak.” Jelasnya Imas ramah.
Burung-burung
tersebut memang burung sawah yang memakan ikan hidup, berhubung sawah nya di
pakai untuk perumahan Adipura, janten weh
burung-burung tersebut berpindah mencari tempat tinggal, kemudian mereka
menemukan pohon bambu itu (jari imas kembali menunjuk pohon bamboo yang tak
jauh dari rumah nya) hingga akhirnya dijadikan sebagai tempat tinggal dari
tahun 1990 hingga sekarang.” Tambahnya kepada kami.
Burung-burung
tersebut terbang mencari makan pada pukul 05.00 pagi dan pulang pada pukul
17.00 sore hari. Menurut
penelitian mahasiswa Unpad, pada bulan Agustus dan September ada beberapa
burung hasil imigran dari Australia, Singapura dan Malaysia yang menetap
sementara di tempat ini, kemudian terbang kembali ke daerah masing-masing.
Namun, burung belekok tetap menetap di kampung Ranca Bayawak tersebut.
Ketika
ada orang yang berani mengganggu habitat burung tersebut, biasanya Bapak H.
Suryana yang sudah sepuh dengan pendengaran yang sudah tidak lagi normal geram
dan langsung turun tangan untuk menegur orang tersebut. Laki-laki tua yang
sudah berusia 75 tahun keluar menghampiri kami dan menebarkan senyuman,
berjalan ke arah Musala samping rumahnya dengan badan sedikit membungkuk
tersebut sangat cinta dengan kampung Ranca Bayawak dan burung belekok.
Begitupun
dengan ibu Imas. Ketika ditanya mengenai rencana pemerintah yang akan membangun
Bandung metropolitan tepat di area persawahan samping habibat burung belekok
yang tak jauh dari rumahnya, mukanya memerah geram seperti ingin mengungkapkan
kemarahan, yang terlintas dibenak nya hanya keberadaan burung belekok. Ya,
ketika area persawahan tempat burung tersebut terbang mencari makan, tempat
mereka terbang sembari bercengkarama dengan sanak saudara dan teman-temannya
dijadikan kota metropolitan keberadaannya akan terancam hingga mungkin akan
punah dengan sendirinya.
Dengan
nada sedikit marah namun tetap ramah kepada kami, Imas menegaskan , “ kami
hanya meminta janji pemkot yang 30 % untuk RTH , itu sajah kok ! tidak lebih
ibu mah, untuk apa ? bukan untuk ibu
, bukan keluarga dan warga kampung belekok, tapi untuk kelestarian burung
belekok itu, lagi-lagi jarinya menunjuk kearah tampat burung belekok tinggal.”
Tegasnya dengan nada kesal.
Itulah
akhir percakapan kami dengan ibu Imas, yang kami dapatkan adalah betapa
sayangnya mereka kepada burung belekok, betapa inginnya mereka untuk tetap melestarikan
burung-burung tersebut, suatu pelajaran berharga bagi kami.
Posting Komentar