About

Account Blog ini punya Faula Rahma Ghalia Mahasiswi Jurnalistik B angkatan 2013 Uin Bandung

Menapaki Kampung Belekok



Saat itu cuaca sangat trik, matahari bersinar sangat terang langsung menyorot dua buah motor yang kami tumpangi, ketika mendapat tugas untuk meliput kampung belekok , tak ada bayangan sedikitpun di benak kami seperti apa kampung tersebut, diantara kami tak ada yang tahu tempat pasti keberadaan kampung tersebut , kendaraan kami terus melaju sambil sesekali kami berhenti untuk berunding mencari arah kampung tersebut, bertanya kepada warga kami lakoni hingga akhirnya kami menemukan tempat yang kami tuju.

Ya, kampung belekok , sebuah kampung yang hanya terdiri dari 60 kepala keluarga, kecil namun tidak kumuh, tempat yang sangat asri di kelilingi oleh sawah. Ketika kami datang, kami disambut dengana suara burung, oeekkk…oeeekkk…oeekkk kami kaget, suara burung apa itu ? kami melihat ke atas, burung tersebut terus mengeluarkan suaranya memanjakan kami pendatang baru, oeekkk..oeekkk…oeekk…. terus seperti itu sambil bercengkrama berlarian ke sana kemari, burung berwarna putih, dengan bulu di leher berwarna coklat, sangat unik dan indah memikat mata kami untuk terus berada di bawah pohon bambu tempat mereka tinggal, alhasil salah satu dari kami terkena kotoran burung tersebut, “aiiihhh sial ucapnya.” 

Salah satu dari kami mengangguk-anggukan kepala sembari terus memandang ke atas melihat burung tersebut, “mmmm… mungkin ini yang namanya burung belekok.” Ungkapnya penasaran. Kami penasaran apa hubungan antara burung tersebut dan kampung belekok ? mengapa burung-burung tersebut ada di kampung belekok ? pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menambah rasa penasaran kami.

Hingga akhirnya kami bertemu dengan ibu Imas, anak dari bapak H. Suryana sesepuh kampung tersebut , karena bapak udah sepuh dan pendengarannya udah terganggu,  jadi ibu wae ya neng yang wawancara.” Ungkap ibu Imas nada bergurau. Ya, kami disambut dengan sangat ramah oleh nya.
Imas menjelaskan sejarah kampung tersebut, “ sebenarnya sih kampung ini namanya kampung Ranca Bayawak, karena ada burung-burung belekok itu ( jari Imas menunjuk ke arah burung belekok) jadi nya weh dinamain kampung belekok, tapi tetap aja ini namanya kampung Ranca Bayawak.” Jelasnya Imas ramah.

Burung-burung tersebut memang burung sawah yang memakan ikan hidup, berhubung sawah nya di pakai untuk perumahan Adipura, janten weh burung-burung tersebut berpindah mencari tempat tinggal, kemudian mereka menemukan pohon bambu itu (jari imas kembali menunjuk pohon bamboo yang tak jauh dari rumah nya) hingga akhirnya dijadikan sebagai tempat tinggal dari tahun 1990 hingga sekarang.” Tambahnya kepada kami.

Burung-burung tersebut terbang mencari makan pada pukul 05.00 pagi dan pulang pada pukul 17.00 sore hari. Menurut penelitian mahasiswa Unpad, pada bulan Agustus dan September ada beberapa burung hasil imigran dari Australia, Singapura dan Malaysia yang menetap sementara di tempat ini, kemudian terbang kembali ke daerah masing-masing. Namun, burung belekok tetap menetap di kampung Ranca Bayawak tersebut.
 
Ketika ada orang yang berani mengganggu habitat burung tersebut, biasanya Bapak H. Suryana yang sudah sepuh dengan pendengaran yang sudah tidak lagi normal geram dan langsung turun tangan untuk menegur orang tersebut. Laki-laki tua yang sudah berusia 75 tahun keluar menghampiri kami dan menebarkan senyuman, berjalan ke arah Musala samping rumahnya dengan badan sedikit membungkuk tersebut sangat cinta dengan kampung Ranca Bayawak dan burung belekok.

Begitupun dengan ibu Imas. Ketika ditanya mengenai rencana pemerintah yang akan membangun Bandung metropolitan tepat di area persawahan samping habibat burung belekok yang tak jauh dari rumahnya, mukanya memerah geram seperti ingin mengungkapkan kemarahan, yang terlintas dibenak nya hanya keberadaan burung belekok. Ya, ketika area persawahan tempat burung tersebut terbang mencari makan, tempat mereka terbang sembari bercengkarama dengan sanak saudara dan teman-temannya dijadikan kota metropolitan keberadaannya akan terancam hingga mungkin akan punah dengan sendirinya. 

Dengan nada sedikit marah namun tetap ramah kepada kami, Imas menegaskan , “ kami hanya meminta janji pemkot yang 30 % untuk RTH , itu sajah kok ! tidak lebih ibu mah, untuk apa ? bukan untuk ibu , bukan keluarga dan warga kampung belekok, tapi untuk kelestarian burung belekok itu, lagi-lagi jarinya menunjuk kearah tampat burung belekok tinggal.” Tegasnya dengan nada kesal.
Itulah akhir percakapan kami dengan ibu Imas, yang kami dapatkan adalah betapa sayangnya mereka kepada burung belekok, betapa inginnya mereka untuk tetap melestarikan burung-burung tersebut, suatu pelajaran berharga bagi kami.

Posting Komentar